Pindah Blog dari IHS Center ke IHSYAH Blogwork

05/11/2025 0 Komentar


Saya pindah blog dari blog lama IHS center ke blog baru IHSYAH blogwork, alasannya adalah saya ingin punya brand baru yang lebih asik didengar.

Di IHSYAH blogwork ini konten akan lebih fresh dan kekinian; sesuai topik dan issu yang digemari dan tren saat ini. 

Sebenarnya IHSYAH blogwork dapat disebut sebagai versi baru IHS center, sebab nyaris tak ada perubahan. Termasuk dalam tampilan yang saya buat sama, sebagai ciri blog. Apalagi tampilan ini merupakan hasil utak-atik template. 

Meski bukan blog yang benar-benar baru, IHSYAH blogwork sudah lama saya buat, sejak tahun 2020, tepatnya pada 24 Juni 2020, dengan postingan pertama, "Berhenti Gunakan Kata 'Hunting' Foto?" - https://blogihsyah.blogspot.com/2020/06/berhenti-gunakan-kata-hunting-foto.html

Sementara, blog IHS center saya buat di tahun 2006, kala itu kalangan anak-anak muda di Makassar dan sekitarnya, sedang demam web termasuk membuat dan mengelola blog pribadi. Postingan pertama berjudul "Saya Ngeblog, Maka Saya Ada" - https://ihscenter.blogspot.com/2006/11/saya-ngeblog-maka-saya-ada.html, yang dipublikasikan pada 5 November 2006. Tepat 19 tahun yang lalu. 

Hingga saat ini, blog IHS center menerbitkan 275 postingan atau konten. Memang bukan jumlah yang banyak jika melihat usia blog. Beberapa konten diposting dengan jeda waktu yang cukup lama. Sebab aktivitas di dunia nyata kadangkala tak menyempatkan waktu untuk berinteraksi dengan dashboard blogger. 

Saya sebenarnya akan menghapus blog IHS center ini tetapi beberapa teman menyarankan untuk tidak menghapusnya. Biarlah blog legend ini menjadi bukti perjalanan saya dalam dunia persilatan, eh dunia blog-ngeblog. Saat belum banyak orang menggeluti hal ini terutama di Maros dan di Sulawesi Selatan.

Mungkin nanti sesekali konten atau postingan di IHS center akan saya reposting di blog ini, terutama konten-konten menarik atau konten-konten yang berhubungan dengan karya-karya saya. Sesuai dengan semangat blog ini; berbagi berita, juga cerita. (**)

Anggaru Sejatinya Bukan untuk Acara Pernikahan

26/09/2025 0 Komentar


​Pada banyak acara adat di Sulawesi Selatan, khususnya Bugis-Makassar, kita sering menyaksikan sebuah atraksi heroik. Atraksi yang disebut Anggaru ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara pernikahan, sebuah tontonan yang menampilkan keberanian para lelaki di hadapan mempelai dan tamu. 

Namun, di balik kemegahan dan popularitasnya, Anggaru sejatinya menyimpan sebuah cerita yang jauh lebih dalam dan maknawi dari sekadar pertunjukan di acara perkawinan.

​Anggaru berasal dari kata “aru” yang berarti “mengakui” atau “bersumpah.” Secara harfiah, Anggaru adalah sebuah ikrar, janji, dan sumpah setia. Anggaru bukan sekadar gerak tubuh, melainkan ritual sakral yang melambangkan ikrar kesetiaan seorang prajurit terhadap Raja atau pemimpinnya.

​Dalam tradisi masa lampau, Anggaru dilakukan oleh para Pammantangang Lompoa, yaitu pengawal kerajaan yang bertugas menjaga keselamatan Raja. Mereka akan mengacungkan Badik sebagai simbol kesiapsiagaan dan keberanian, sembari melantunkan janji yang berisi kesediaan untuk berkorban jiwa raga demi kedaulatan kerajaan.

​Anggaru mengandung nilai-nilai kepahlawanan, kesatriaan, dan pengabdian. Gerakannya yang tegas dan penuh semangat bukanlah untuk unjuk kebolehan, melainkan refleksi dari sikap dalam menjaga kehormatan dan kedaulatan.

​Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran makna dan fungsi dari Anggaru. Atraksi ini mulai diadopsi dalam berbagai acara sosial, termasuk perkawinan. Penggunaannya dalam upacara pernikahan dimulai dari sebuah adaptasi yang dimaksudkan untuk menyambut kedatangan mempelai pria di rumah mempelai wanita, sebagai simbol penghormatan tertinggi. 

Seolah-olah mempelai pria dianggap sebagai "raja" yang harus dijaga dan dihormati.

Anggaru juga kadangkala dilakukan saat malam mapacci, yang dilakukan pada malam sebelum akad nikah. Prosesi ini bertujuan untuk menyucikan dan membersihkan calon mempelai, baik secara fisik maupun batin, dari segala dosa dan keburukan di masa lalu, agar memulai kehidupan pernikahan dalam keadaan yang suci. 

Nama Mappacci berasal dari kata "pacci" yang berarti daun pacar atau inai, yang memiliki makna penyucian diri. Calon mempelai diyakini dapat melepaskan masa lajang dengan hati yang bersih, sehingga diharapkan pernikahannya langgeng dan tidak terpisahkan.

Para tetua adat atau kerabat yang dituakan akan menaburkan pacci ke tangan calon mempelai. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia, dan diharapkan kebahagiaan mereka menular kepada pasangan yang akan menikah.

Perlengkapan yang digunakan dalam upacara mappacci memiliki makna simbolis yang melambangkan harapan-harapan baik bagi kehidupan rumah tangga kedua mempelai. 

Seperti bantal, sebagai alas kepala calon mempelai, bantal melambangkan harkat, martabat, dan kehormatan. Ini adalah pengingat bagi mempelai untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga.

Sarung sutera (tujuh helai) yang disusun sebanyak tujuh helai di atas bantal melambangkan harga diri, ketekunan, dan sifat istikamah. Angka tujuh juga dikaitkan dengan makna melakukan pekerjaan yang benar, bermanfaat, dan berguna.

Daun pisang yang melambangkan kehidupan yang terus berkesinambungan dan harapan agar mendapatkan keturunan yang baik. Daun nangka (sembilan helai) yang melambangkan cita-cita luhur yang tinggi, semangat hidup, dan kebajikan.

Beras atau jagung yang dimekarkan: Melambangkan harapan agar rezeki kedua mempelai akan terus berkembang dan mandiri dalam mengarungi rumah tangga.

Juga lilin lebah (tebani): Melambangkan cahaya penerang yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan kedua mempelai, serta harapan agar mereka menjadi suri tauladan bagi sekitarnya.

Selanjutnya ada kelapa dan gula merah: Melambangkan harapan agar kehidupan pernikahan senantiasa manis dan harmonis.

Serta yang utama daun pacci, daun pacar yang ditumbuk halus melambangkan cinta yang tidak akan pudar dan kerukunan bagi kedua mempelai. 

Prosesi mappacci melibatkan keluarga, kerabat, dan tokoh masyarakat yang dituakan. Setelah calon mempelai duduk bersimpuh, orang-orang yang ditunjuk akan secara bergiliran meletakkan tumbukan daun pacci ke telapak tangan mempelai. 

Acara ini sering diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an atau pengajian. Setelah semua tamu selesai, calon mempelai akan meninggalkan sedikit sisa pacci di tangannya hingga akad nikah keesokan harinya sebagai simbol bahwa ia telah disucikan.

Kembali pada atraksi Anggaru dalam acara pernikahan, menurut Dr. M. Syaiful, seorang budayawan dan pakar sejarah Makassar, pergeseran ini melunturkan makna asli dari Anggaru. 

"Anggaru itu sesungguhnya adalah ikrar untuk mempertahankan kedaulatan, untuk berperang melawan musuh. Maknanya sangat maskulin dan penuh dengan semangat keprajuritan. Ketika Anggaru digunakan dalam pernikahan, itu seperti melepaskan ruh aslinya. Sumpah yang seharusnya ditujukan kepada pemimpin tertinggi, kini direduksi menjadi sekadar hiburan atau simbol penyambutan," ujarnya, mengutip media.

​Penggunaan Anggaru di acara pernikahan memang mengundang pro dan kontra. Sebagian berpendapat bahwa ini adalah bentuk pelestarian budaya agar tetap dikenal oleh generasi muda. Namun, banyak juga yang khawatir bahwa jika tidak dikembalikan pada konteks aslinya, maka Anggaru hanya akan menjadi seni pertunjukan tanpa makna yang mendalam.

​Anggaru bukanlah sebuah atraksi selamat datang biasa. Ini adalah sebuah ritual yang sakral, sebuah janji yang dibuat dengan darah dan kehormatan. Parang yang diacungkan bukanlah sekadar properti, melainkan simbol kesiapan untuk bertarung. Sumpah yang dilantunkan bukanlah sekadar lirik, melainkan ikrar yang mengikat jiwa.

​Memahami hal ini penting agar kita tidak hanya melestarikan wujudnya, tetapi juga ruhnya. Mengembalikan Anggaru ke konteks aslinya tidak berarti mengharamkan penggunaannya di luar upacara kerajaan, melainkan lebih pada kesadaran bahwa ia adalah sebuah tarian istimewa yang mengandung nilai-nilai luhur dan harus dipertunjukkan dengan penuh penghormatan terhadap sejarah dan makna yang terkandung di dalamnya.

​Anggaru adalah janji. Janji setia seorang prajurit. Janji untuk menjaga kehormatan. Dan janji seperti itu, sejatinya, terlalu sakral untuk sekadar menjadi pengiring di acara perkawinan. Anggaru adalah cerminan jati diri seorang kesatria. 

Menurut Dr. Nurhayati M.S., seorang pakar sejarah dan antropologi budaya Bugis-Makassar, Anggaru pada dasarnya adalah manifestasi dari sumpah setia. 

"Dalam tradisi Bugis, Anggaru dikenal sebagai 'Sumangeq'-na To-Labbiriq' atau 'Sumpah Kehormatan Para Bangsawan'. Sumpah ini diucapkan oleh seorang Ksatria atau Panglima Perang kepada Raja atau pemimpin mereka," jelasnya.

​Fungsi utamanya adalah untuk menyatakan kesetiaan, keberanian, dan kesiapan untuk berkorban demi melindungi kehormatan dan kedaulatan kerajaan. 

Isi dari Anggaru biasanya mencakup tiga poin utama: ​Kesetiaan Tak Bertepi: Kesiapan untuk mati demi mempertahankan kehormatan pemimpin dan kerajaan. Keberanian dalam Perang: Janji untuk tidak mundur dari medan pertempuran. Serta ​Pengorbanan Diri: Kesediaan untuk mengorbankan nyawa, harta, dan keluarga demi kepentingan yang lebih besar.

​Dalam konteks sejarah, Anggaru diucapkan di hadapan para pembesar kerajaan, disaksikan oleh rakyat, sebagai sebuah ritual sakral yang mengikat jiwa raga seorang ksatria. Ini bukan hanya sebuah kata-kata, melainkan sebuah kontrak moral yang tak terpecahkan.

​"Penting bagi kita untuk mengembalikan Anggaru ke posisinya yang benar. Anggaru adalah representasi dari karakter 'To-Makassar-To-Bugis', yaitu pribadi yang menjunjung tinggi kehormatan, berani, dan setia pada janji," katanya. 

Ia menambahkan bahwa Anggaru seharusnya dikaji, diajarkan, dan dipentaskan dalam konteks yang sesuai, seperti dalam upacara pelantikan raja atau pimpinan adat, atau dalam pertunjukan seni yang berorientasi edukasi.

Memang, pada akhirnya tradisi akan terus berevolusi. Namun, sebagai pewaris, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa evolusi itu tidak sampai menghilangkan esensi dari warisan budaya. Anggaru bukan sekadar seni pertunjukan untuk acara pernikahan; ia adalah warisan sejarah, cerminan dari jiwa ksatria, dan pengingat akan pentingnya kesetiaan dan pengorbanan demi kepentingan yang lebih besar. 

Dengan memahami dan menghargai maknanya yang sejati, kita tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga merawat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Lantas, bagaimana Anggaru bisa bergeser maknanya hingga masuk ke dalam acara pernikahan? 

Menurut Budayawan Bugis-Makassar, Arfan, pergeseran ini terjadi secara bertahap seiring berjalannya waktu.

"Mungkin karena bentuknya yang heroik dan teatrikal, Anggaru dianggap cocok untuk menambah kemeriahan acara perkawinan," ujarnya.

​Ada beberapa asumsi yang menyebabkan pergeseran ini, di antaranya Dramatisasi dan Estetika: Anggaru dinilai mampu memberikan sentuhan dramatis dan menambah "aura" sakral pada prosesi pernikahan, seolah-olah pengantin pria bersumpah setia di hadapan keluarga mempelai wanita.

​Kurangnya Pemahaman Sejarah: Banyak masyarakat modern, terutama generasi muda, tidak lagi memahami konteks historis dan filosofis Anggaru. Mereka hanya melihatnya sebagai bagian dari "pertunjukan" budaya yang menarik.

​Anggaru sebagai Simbol Pengakuan: Anggaru juga sering digunakan sebagai simbol pengakuan atas penerimaan menantu oleh keluarga mempelai wanita. Anggaru diucapkan oleh keluarga mempelai wanita, seolah-olah sang menantu kini menjadi "bagian" dari keluarga yang harus dilindungi kehormatannya. Namun, ini adalah interpretasi yang jauh dari makna aslinya.

​​Meskipun niat di balik penggunaannya dalam pernikahan mungkin baik—yaitu untuk menumbuhkan rasa kesetiaan—pemanfaatan Anggaru dalam konteks ini telah mengikis makna aslinya yang luhur. Anggaru sejatinya bukan tentang sumpah seorang suami kepada istrinya, melainkan sumpah seorang abdi kepada rajanya, seorang ksatria kepada negerinya.

Menurut Dr. Hamka Hafid, seorang filolog dan budayawan dari Universitas Hasanuddin, fenomena Anggaru bergeser dari konteks militer ke konteks perkawinan mulai terlihat sekitar abad ke-20. 

"Seiring pudarnya tradisi kerajaan dan perang, Anggaru kemudian diadopsi ke dalam ranah sipil, termasuk perkawinan," ungkapnya. 

Ikrar ini dianggap sebagai simbol kesiapan seorang mempelai pria untuk menjaga dan melindungi istrinya, serta keluarganya kelak. Gerakan-gerakan yang dulu menggambarkan persiapan perang kini diinterpretasikan sebagai kesiapsiagaan menghadapi tantangan hidup.

​Namun, tidak semua setuju dengan pergeseran ini. Sebagian budayawan dan pemerhati adat menilai bahwa mengadopsi Anggaru dalam acara perkawinan dapat mengikis makna aslinya. 

Pergeseran konteks ini membuat ​​Anggaru hari ini lebih sering dikenal sebagai sebuah seni pertunjukan. Gerakan-gerakannya diperhalus, musiknya disesuaikan, dan narasi yang dibacakan sering kali berisi pesan-pesan yang lebih romantis dan bersifat personal. Namun, agar tidak kehilangan ruh aslinya, penting bagi para pelaku seni dan masyarakat untuk memahami sejarah dan makna di balik setiap gerakan dan kata yang diucapkan.

​Anggaru sejatinya adalah sebuah ikrar, sumpah, dan komitmen seorang ksatria. Membawa Anggaru ke dalam sebuah pernikahan adalah pengakuan bahwa membangun rumah tangga adalah sebuah medan juang yang butuh komitmen dan keberanian sekuat ikrar seorang prajurit. Walaupun konteksnya telah bergeser, esensi nilai-nilai luhur di dalamnya tetap relevan dan penting untuk terus dijaga. 

Jadi, mari kita pahami dan hargai makna sesungguhnya, agar kekayaan budaya kita tidak hanya hidup, tetapi juga tetap bermakna. (**)

*PenulisM. Ilham Halim Syah

**Artikel ini sebagian dihasilkan oleh AI

Jalan Panjang Pers Nasional

09/02/2021 0 Komentar

 

Bukit Tamangura Maros
Penulis, Ilham Halimsyah di Bukit Tamangura Maros.

Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap 9 Februari, hal ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Keputusan yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 itu juga menyebutkan bahwa Pers Nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Sebelum Kepres itu lahir, sebenarnya HPN telah digodok sebagai salah satu butir keputusan Kongres ke-28 Persatuan Wartawan (PWI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1978. Kesepakatan tersebut, tak terlepas dari kehendak insan pers untuk menetapkan satu hari bersejarah untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.

Kemudian, dalam sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung pada 19 Februari 1981, kehendak tersebut disetujui oleh Dewan Pers untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah sekaligus menetapkan penyelenggaraannya.

Lahirnya HPN tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah tentang peran penting wartawan sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Sebagai aktivis pers, wartawan bertugas dalam pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional serta sebagai aktivis politik yang menyulut perlawanan rakyat terhadap kemerdekaan.

Peran ganda tersebut tetap dilakukan wartawan hingga setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bahkan, pers kemudian mempunyai peran strategis dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Pada 1946, aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia kemudian menemukan wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Kelahiran PWI di tengah situasi perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan, serta integritas bangsa dan negara.

Kehadiran PWI diharapkan mampu menjadi tombak perjuangan nasional menentang kembalinya konolialisme dan dalam menggagalkan negara-negara boneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.

Selanjutnya, tokoh-tokoh surat kabar dan tokoh-tokoh pers nasional berkumpul mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada 6 Juni 1946 di Yogyakarta. SPS didirikan atas kesadaran bahwa sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan.

SPS menyerukan agar barisan pers nasional perlu segera ditata dan dikelola baik dalam segi ide serta komersialnya. Hal itu mengingat bahwa pada kala itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.

Meski sebetulnya SPS telah lahir empat bulan sebelum, yakni bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada 9 Februari 1946. Karena kesamaan itulah, banyak orang yang kemudian menjuluki SPS dan PWI sebagai "kembar siam". Pada 9-10 Februari itu, wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Mereka datang dari beragam kalangan wartawan, seperti pemimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan.

Setelah 26 tahun, pengalaman pers nasional dan kesulitan di bidang percetakan melahirkan Serikat Grafika Pers (SGP) pada pertengahan tahun 1960-an. Kesulitan semakin mencekik ketika kemerosotan peralatan cetak dalam negeri digempur kecanggihan teknologi mutakhir luar negeri.

Kelimpungan dengan hal itu, tergeraklah keinginan untuk meminta pemerintah ikut mengatasinya dan memperbaiki keadaan pers nasional dan berkontribusi dalam pengadaan peralatan cetak dan bahan baku pers. Hingga akhirnya, pada Januari 1968 dilayangkan nota permohonan kepada Presiden Soeharto.

Menanggapi hal itu, pemerintah mengesahkan Undang Undang penanaman modal dalam negeri yang menyediakan fasilitas keringanan pajak dan bea masuk serta dimasukkannya grafika pers dalam skala prioritas telah memacu berdirinya usaha-usaha percetakan baru. Maka berlangsunglah Seminar ke-1 Grafika Pers Nasional pada Maret 1974 di Jakarta. Kemudian, keinginan untuk membentuk wadah grafika pers SGP terwujud pada 13 April 1974.

Selain wartawan cetak, para tokoh radio siaran pun memikirkan wadah untuk mengembangkan profesionalisme penyelenggaraan radio siaran swasta dengan membentuk organisasi bersifat nasional. Maka diselenggarakan Kongres pertama Radio Siaran Swasta se Indonesia yang dihadiri 227 orang peserta, mewakili 173 stasiun radio siaran swasta dari 34 kota di 12 provinsi saat itu.

Kongres yang digelar di Balai Sidang Senayan Jakarta pada 16-17 Desember 1974 itu melahirkan organisasi Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia yang disingkat PRSSNI. Selanjutnya, pada Munas ke IV PRSSNI di Bandung tahun 1983, kata "Niaga" diganti "Nasional" sehingga menjadi Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional  Indonesia dan tetap disingkat PRSSNI.

Organisasi pers nasional pun terus berkembang, hingga lahirnya Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) yang dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers ditetapkan sebagai anggota organisasi pers nasional.

Bergulirnya reformasi, melahirkan kebebasan dan keterbukaan informasi di Indonesia. Jika pada era Orde Baru, hanya PWI yang diakui sebagai satu-satunya organisasi profesi kewartawanan, maka sejak era reformasi telah muncul puluhan organisasi wartawan, seperti halnya dengan pembentukan partai-partai politik.

Diantaranya lahir Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994 di Bogor yang dilatarbelakangi oleh penandatanganan Deklarasi Sirnagalih yang intinya menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.

Sejak berdiri hingga saat ini, AJI memiliki kepedulian pada tiga isu utama, yakni pertama, perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers. Kedua, meningkatkan profesionalisme jurnalis. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan jurnalis.

Untuk menumbuhkan profesionalitas pengelolaan organisasi wartawan, Dewan Pers menganggap perlu menetapkan standar organisasi wartawan yang berlaku secara nasional. Dari puluhan organisasi wartawan yang ada, Dewan Pers menilai ternyata hanya 4-5 organisasi wartawan yang memenuhi syarat, diantaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Era reformasi juga melahirkan organisasi yang menghimpun para jurnalis televisi, seiring dengan perkembangan media televisi di tanah air. Ratusan jurnalis televisi berkumpul di Jakarta untuk melakukan kongres pertama dan sepakat mendirikan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) pada 8-9 Agustus 1998.

Kemudian di era moderen, pers berkembang dengan cepat dan melahirkan "Jurnalistik Online." Jurnalistik generasi baru ini lahir seiring dengan kemunculan media online (internet) sebagai salah satu media baru. Jurnalisme online merupakan jurnalisme generasi ketiga setelah jurnalisme cetak (media cetak seperti suratkabar dan majalah) dan jurnalisme elektronik (radio dan televisi).

Perkembangan ini menjadikan setiap wartawan masa kini "wajib" menguasi wawasan dan keterampilan online, apalagi media konvensional, --suratkabar, majalah, tabloid, radio, dan televisi-- memiliki versi online agar tiba ke pembaca dengan lebih cepat.

Maka dunia pers Indonesia jangan gagap teknologi. Pers nasional harus menerima perkembangan teknologi dengan baik dan wartawan harus paham internet. Sebab laju informasi tidak dapat dihambat dan akan terus mengalir ke ruang publik, di mana pun, kapan pun. Selamat Hari Pers Nasional. (**)

**Ilham Halimsyah. Pemerhati pers, tinggal di Maros.

Jadi Youtuber, Untung Atau Buntung?

16/01/2021 0 Komentar

 


YouTube merupakan salah satu platform online paling populer saat ini. Dari data yang dihimpun dari YouTube for Press, media sosial berbasis video tersebut mendapatkan lebih dari satu miliar pengguna per bulan di seluruh dunia. 

Angka tersebut hampir sepertiga dari jumlah pengguna internet secara keseluruhan.Begitu pesat perkembangannya, YouTube tak lagi sekadar platform berbagi video bagi penggunanya. Kini, YouTube seakan menjadi ladang bisnis baru bagi orang-orang kreatif atau biasa disebut Youtuber.

Namun, apakah berkecimpung di dunia YouTube sebagai youtuber cukup menjanjikan dan layak dijadikan profesi?

YouTube didirikan oleh had Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim yang merupakan mantan pekerja Paypal pada tahun 2005.

Video pertama yang diunggah di YouTube berjudul “Me at The Zoo” yang menampilkan Jawed Karim, salah satu pendiri YouTube sedang berada di kebun binatang San Diego. Hingga kini, video berdurasi 19 detik itu telah ditonton sebanyak 70 juta kali.

Pada Oktober 2006, YouTube yang baru seumur jagung akhirnya dibeli Google seharga 1,65 miliar dolar AS. Dari situlah, YouTube semakin meraja lela sebagai platform berbasis video terbesar hingga sekarang.

Istilah YouTube lebih TV yang muncul dalam sebuah lagu rap berjudul “Ganteng-ganteng Swag” tak terlepas dari bagaimana tingginya minat pengguna internet di Indonesia untuk mengakses YouTube.

Dihimpun dari Techinasia, kuantitas penonton YouTube hampir setara dengan penonton televisi. Dari 1500 responden, 53% menjadikan YouTube sebagai sarana media yang paling sering diakses, dan 57% menyatakan menonton televisi setiap hari.

YouTube seakan menjadi lahan baru bagi orang-orang kreatif dalam menuangkan karyanya. Terbukti, muncul banyak konten kreator atau youtuber asal Indonesia yang mendapatkan popularitas dan pundi-pundi uang dari YouTube.

Aldi Kurnia, seorang youtuber gaming yang memiliki 30 ribu lebih subscriber mengungkapkan sudut pandangnya tentang konten kreator YouTube yang dijadikan profesi. “Bisa, tapi harus cari sidejob yang lain, jangan terlalu terpaku sama youtube. Kita gatau masa depan youtube nanti gimana, jadi antisipasinya harus cari sidejob lain entah bisnis atau sebagainya tergantung passionnya“

Ia mengakui jika perkembangan YouTube di Indonesia sangat luar biasa. “Perkembanganya luar biasa sih, buktinya sekarang banyak youtuber yang sukses bisa beli rumah, mobil dan lain lain gitu”

Jika kamu memang punya passion untuk berkarya atau membuat konten di YouTube, dan cukup konsisten, bukan tak mungkin seiring berjalannya waktu akan berbuah hasil berupa adsense dari YouTube.

Namun, jika kamu membuat konten semata ingin mengejar uang saja, rasanya bikin karya di YouTube hanya akan menjadi sebuah beban.

Menjadi seorang YouTuber bisa menjadi untung atau buntung, tergantung pada banyak faktor, seperti kreativitas, konsistensi, dan keberuntungan. Bagi sebagian orang, profesi ini menawarkan kebebasan finansial dan pengakuan, sementara bagi yang lain, ini adalah kerja keras dengan hasil yang tidak pasti. 

Untung: Keuntungan menjadi YouTuber

- Potensi penghasilan besar: YouTuber dengan jumlah pelanggan dan penonton yang masif bisa mendapatkan penghasilan fantastis, baik dari iklan, sponsor, maupun penjualan produk. Contohnya, YouTuber dengan 1 juta pelanggan bisa menghasilkan jutaan hingga miliaran rupiah per bulan.

- Kebebasan kreativitas: Anda bisa membuat konten sesuai minat dan hobi Anda sendiri, tanpa terikat aturan kantor.

- Waktu kerja fleksibel: Sebagai bos untuk diri sendiri, Anda bisa menentukan jadwal kerja dan waktu luang sesuai keinginan.

- Membangun personal branding: Anda memiliki kesempatan untuk menjadi ahli di bidang tertentu, membangun citra, dan dikenal oleh audiens yang luas.

- Peluang diversifikasi pendapatan: Selain dari iklan, penghasilan bisa datang dari affiliate marketing, kolaborasi, merchandise, dan donasi penonton. 

Buntung: Sisi gelap menjadi YouTuber 

- Pemasukan tidak menentu: Terutama di awal karir, penghasilan dari iklan sangat kecil dan tidak bisa diandalkan. Perubahan kebijakan atau algoritma YouTube juga bisa berdampak besar pada pendapatan.

- Kompetisi ketat: Jutaan orang menjadi YouTuber, membuat persaingan untuk mendapatkan perhatian penonton semakin sengit.

- Kerja keras dan waktu: Proses pembuatan video, mulai dari riset, syuting, hingga editing, membutuhkan banyak waktu dan tenaga.

- Risiko kesehatan mental: Tuntutan untuk terus menghasilkan konten berkualitas, menghadapi komentar negatif (pembenci), dan cyberbullying dapat memicu stres dan kelelahan.

- Kurangnya privasi: Popularitas yang meningkat bisa mengundang risiko keamanan dan pelanggaran privasi, terutama jika Anda membagikan terlalu banyak hal pribadi.

- Risiko hak cipta dan kebijakan: Pelanggaran hak cipta atau kebijakan komunitas yang tidak disadari bisa menyebabkan video dihapus atau bahkan kanal ditangguhkan. 

Jadi, untung atau buntung?

Kesuksesan sebagai YouTuber tidak datang dengan mudah. Anda harus bekerja keras, konsisten, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang audiens dan platform. Bagi mereka yang berhasil, ini adalah profesi yang sangat menguntungkan dan memuaskan. Namun, banyak juga yang gagal dan menyerah di tengah jalan karena tantangan yang tidak mudah. 

Pada dasarnya, menjadi YouTuber adalah seperti memulai bisnis. Butuh modal (waktu, alat, ide), kerja keras, kesabaran, dan keberanian menghadapi risiko untuk mencapai kesuksesan. (**)

**Sebagian tulisan diupdate pada 6 November 2025.

Manfaat Ngeblog untuk Kalangan Milenial

03/01/2021 0 Komentar


Blog atau website bukanlah hal asing bagi para kalangan milenial. Dewasa ini tren ngeblog semakin tinggi seiring dengan semakin mudahnya didapat akses internet. Ngeblog sendiri adalah proses seseorang dalam mengelola blog, baik mulai dari menulis artikel, optimasi, atau juga promosi untuk blog itu sendiri. Untuk membuat blog yang bagus sebaiknya beli hosting agar terlihat profesional.

Nah, di era digital yang berkembang sedemikian pesat ini, ternyata aktivitas ngeblog memiliki banyak sekali manfaatnya. Di bawah ini adalah beberapa manfaat yang bisa didapatkan ketika seseorang aktif dalam dunia blogging.

1. Semakin Bertambahnya Pengetahuan

Hal ini seperti menjadi sebuah keniscayaan. Ketika seseorang memulai aktivitasnya dalam blogging, maka dengan sendirinya akan menambah pengetahuan untuknya. Setidaknya pengetahuan mengenai apa yang akan ia tulis di dalam blognya.

Kenapa demikian? Karena kalau tidak menambah referensi atau pengetahuan, maka sebuah blog tentu akan ketinggalan dengan yang lain. Maka seorang blogger harus selalu meng-upgrade pengetahuannya.

2. Memperluas Relasi Atau Rekan Bisnis

Ketika Anda mengelola sebuah blog, maka tentunya Anda juga akan memiliki komunitas tersendiri. Bisa komunitas antar blogger atau komunitas antar topik yang mungkin sedang Anda tulis di blog Anda.

Misal blog Anda membahas tentang kucing, maka ini tentu akan menambah relasi atau teman dan bahkan bisa saja membuka ruang bisnis dan peluang baru untuk Anda.

3. Akan Update Berita dan Info Terbaru

Nah, ini juga menjadi manfaat atau kelebihan seorang yang aktif dalam ngeblog. Anda akan selalu mendapatkan info terbaru mengenai apa saja. Karena bagaimanapun juga seorang blogger akan selalu berkutat dengan info dan berita terbaru atau yang sedang trend. Dan biasanya, golongan blogger ini lah yang kerap mengerti mengenai berita terbaru.

4. Pendapatan Sampingan Yang Menjanjikan

Aktivitas ngeblog bisa mendapatkan uang. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang dari blog. Jika dulu ngeblog hanya dianggap sebagai profesi sampingan, maka kini pendapat itu patut diperdebatkan.

Menjadi seorang blogger kini tidak bisa lagi dianggap sebagai profesi sampingan. Karena ternyata ada banyak blogger yang memiliki penghasilan jutaan bahkan ratusan juta, meski juga tak kalah banyak yang masih berjuang berdarah-darah untuk menghasilkan uang dari blog.

5. Membangun Personal Branding

Jika Anda seorang yang membutuhkan brand untuk diri Anda sendiri, maka ngeblog adalah salah satu cara simpel yang bisa Anda lakukan.

Misalkan Anda seorang motivator, maka Anda bisa membangun blog mengenai diri Anda yang ahli dalam bidang motivasi. Anda bisa mengisi blog Anda mengenai hal-hal yang pernah Anda kerjakan dalam dunia kemotivatoran. Baik kemampuan Anda, kelebihan Anda, spesifikasi Anda, atau info lain mengenai apa yang Anda kerjakan.

Blog sebagai personal branding sejauh ini sangat ampuh untuk mendongkrak brand baik perusahaan maupun perorangan. Maka jangan ragu lagi memanfaatkan blog untuk personal branding Anda.

6. Media Promosi Yang Ampuh

Selain bisa untuk membangun personal branding, blog juga sangat bagus untuk media promosi sebuah produk. Apalagi ada Distro linux yaitu sistem operasi open source yang banyak dijadikan alternatif windows untuk membuat media promosi.

Banyak sekali produk yang memanfaatkan blog sebagai media promosi. Kalau tidak percaya, coba sekarang Anda ketikan satu saja nama produk yang populer di Google, lihat hasilnya, di sana hampir bisa dipastikan akan muncul sebuah blog untuk produk tersebut.

Jika Anda memiliki produk sendiri maka tak ada salahnya jika Anda memanfaatkan blog sebagai media untuk promosi produk Anda. (**)

**Sumber: 6 Manfaat Ngeblog Untuk Kalangan Milenial https://www.literasipublik.com/6-manfaat-ngeblog-untuk-kalangan-milenial




Jangan Baper di Media Sosial

02/12/2020 0 Komentar


Media sosial seperti Instagram dan Twitter jadi salah satu tempat bagi kita untuk mencurahkan pikiran. Namun layaknya hidup, tak semua pikiran kita bisa sesuai dengan opini orang lain. Sebagai seorang aktor dan influencer yang sering tampil di depan publik, Omar Daniel sudah banyak makan asam garam soal komentar negatif. 

Nah, bagi kamu yang masih struggling dengan hal ini, simak tips dari Omar Daniel dalam menghadapi sindiran di media sosial berikut:

Berpikir bijak

“Kita harus bisa membedakan pendapat dari netizen julid yang memberikan komentar asal dengan mereka yang memang memberikan kritik membangun,” jelas Omar.

Tidak bawa perasaan

“It’s just social media,” ungkap Omar. Intinya, hindari baper dan jangan terlalu serius menganggap komentar orang di akunmu. Kemampuan untuk menyadari dunia maya sangatlah penting karena orang yang memberikan kritik juga belum tentu nyata alias anonymous yang menggunakan akun palsu.

Berkaca

Dalam hidup, berkaca sangatlah penting. Hal-hal seperti introspeksi dan menyadari serta menerima kekurangan diri memang bukan hal mudah. Terkadang, kita memang perlu mendengarkan saran dan kritik dari orang lain. Anggap saja komentar negatif atau sindiran tersebut sebagai saran yang membangun.

Menyadari pro dan kontra adalah hal wajar

“Ada hitam, ada putih. Perbedaan akan selalu ada,” jelas Omar. Bisa jadi, apa yang kita sampaikan di media sosial berbeda dengan pemikiran orang lain. Maka, wajar banget kalau ada yang kurang setuju atau justru berlawanan dengan opini kita. Tetap terima dengan bijaksana dan selalu menghargai pendapat orang lain.

Tak ambil pusing

Ada banyak hal yang lebih penting daripada membaca komentar negatif di media sosial. “Skip saja, namun jika terlalu menyakiti hatimu, segera report atau block akunnya sebagai tindakan darurat demi menyelamatkan kesehatan mentalmu,” jelas Omar. 

Media sosial adalah platform digital yang memfasilitasi pengguna untuk saling berinteraksi dan berbagi konten seperti teks, foto, dan video secara daring tanpa batasan ruang dan waktu. Platform ini memungkinkan komunikasi dua arah secara real-time dan telah mengubah cara masyarakat berkomunikasi, berinteraksi, dan mendapatkan informasi, serta memiliki dampak positif dan negatif yang signifikan. 

Contoh populer dari media sosial adalah Facebook, Instagram, TikTok, X (sebelumnya Twitter), LinkedIn, dan YouTube. Fungsi utama media sosial Sarana interaksi sosial: Memungkinkan pengguna untuk bersosialisasi dan terhubung dengan orang lain di seluruh dunia.

- Platform berbagi konten: Menyediakan ruang untuk membuat dan membagikan berbagai jenis konten, seperti tulisan, foto, dan video. 

- Alat komunikasi dan pemasaran: Menjadi alat penting untuk berkomunikasi, memasarkan produk, dan mengumpulkan umpan balik pelanggan.Penyedia informasi: Memperluas jangkauan dan kecepatan penyebaran informasi di masyarakat. 

Dampak positif 

- Kemudahan akses informasi: Memudahkan pengguna untuk mengakses dan menyebarkan informasi dengan cepat.

- Memperluas jaringan: Membantu membangun dan memperluas jaringan sosial secara daring.

- Meningkatkan adaptasi teknologi: Membantu individu, terutama generasi muda, beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat. 

Dampak negatif 

- Kecanduan: Dapat menyebabkan kecanduan, fear of missing out (\(FOMO\)), dan mengganggu konsentrasi.

- Menurunnya interaksi tatap muka: Cenderung menggantikan interaksi sosial secara langsung.

- Masalah privasi dan keamanan: Rentan terhadap masalah privasi dan pengaruh buruk dari pihak lain.

- Potensi konflik: Dapat memunculkan konflik, penyebaran berita palsu, dan polarisasi kelompok. (**)


*Sumber: Jangan Baper, Begini Cara Menghadapi Komentar Negatif Di Media Sosial https://www.dbs.com/spark/index/id_id/site/articles/livemorekind/2020-jangan-baper-begini-cara-menghadapi-komentar-negatif-di-sosial-media.html 

**Sebagian tulisan diupdate pada 6 November 2025.

Bijak Menggunakan Media Sosial

16/11/2020 0 Komentar


Pada abad ini, social media sudah menjadi kebutuhan pokok sebagian besar penduduk bumi, terlebih lagi di Indonesia, salah satu negara pengguna social media terbesar di dunia. Beberapa statistik menyebutkan, pengguna sosial media di Indonesia mencapai angka lebih dari 130 juta. 

Jumlah angka yang bernilai jutaan ini sebenarnya bisa menjadikan Indonesia sebagai salah satu leading e-commerce dunia dan leading dalam literasi digital bila penggunanya tahu cara memanfaatkan social media secara efektif.

Menggunakan socmed dengan bijaksana memang sangat menantang terutama bagi millenials yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan dunia digital. “The paradigm is fame”, kalau dialihbahasakan menjadi paradigma tenar. Paradigma ini kian berkembang kuat di pengguna socmed yang sering kali bisa mengangkat atau menjatuhkan pengguna dalam sekejap. Selain itu, maraknya kejahatan melalui vektor digital juga membuat pengguna harus lebih waspada.

Untuk menjadi penggun social media yang cerdas dan mampu menjadikan dunia digital sebagai pendukung kehidupan nyata, ada sepuluh tips yang bisa diterapkan dalam kehidupan digital Anda:

1. Jadi Diri Sendiri!

Gunakan nama anda sendiri dan gunakan profile picture yang jelas untuk menunjukkan bahwa akun yang dibuat adalah benar akun anda. Gunakan satu akun yang terkoneksi dengan keluarga, teman dan dunia kerja.

2.  Gunakan Social Media Sebagai Ensiklopedia

Sosial media sangat mudah menghubungkan penggunanya dengan berbagai perusahaan, media, hingga public figure yang menginspirasi. Dalam hal ini, pengguna bisa menjadikan sosial media sebagai ensiklopedia. Mengikuti page-page yang terkait dengan minat dan bakat penggunanya. 

Misalnya jika pengguna ingin belajar Bahasa Inggris, mereka bisa mengikuti page-page terkait dengan English as Second Language atau English as Foreign Language. Pun, bagi pengguna yang ingin mempelajari tentang IPA. Sehingga pada saat membuka beranda atau “home” yang terlihat tidak hanya status-status alay dari pengguna yang lain.

3. Teman di Dunia Nyata Adalah Teman di Dunia Maya

Teman di dunia digital sebaiknya berasal dari teman-teman dari dunia nyata, teman atau kenalan yang pernah ditemui di dunia nyata atau teman dari teman-teman Anda. Pastikan jumlah mutual friend yang tinggi sebelum mengkonfirmasi pertemanan di sosial media.

4. Pastikan Postingan Anda Bukan Hoaks dan Bermanfaat Bagi Pembaca

Kenali siapa teman-teman Anda di sosmed, apakah ada remaja atau pemuda dalam lingkaran pertemanan anda. Apakah konten yang akan anda bagi adalah bacaan yang pantas untuk mereka. Sebelum membagi suatu konten atau berita, pastikan juga berita atau opini tersebut berasal dari sumber yang terpercaya.

5. Jauhi Sosial Media Saat Anda Sedang Marah

Saat emosi tidak stabil, sebaiknya bertemu dengan keluarga dekat atau sahabat. Meluapkan kamarah di social media dengan menggunakan bahasa yang bijaksana sangat tidak mudah. Karena pengguna dikendalikan oleh emosi, ujaran-ujaran kebencian bisa ter-sharing tanpa tersaring.  Terlebih lagi menceritakan permasalahan tersebut untuk mencari perhatian bukan solusi yang tepat. Hal ini  bisa jadi bumerang bagi pengguna.

6. Bangun hubungan, Jangan Sekedar Mencari Followers

Tag atau mention teman-teman atau keluarga anda dalam berbagai photo atau postingan-postingan yang berkaitan dengan mereka. Apabila Anda membaca artikel-artikel tentang hal-hal yang bermanfaat seperti info beasiswa atau lapangan kerja, anda bisa membagi atau mengirim link artikel atau pengumuman tersebut. Beberapa penelitian juga menyebutkan, seseorang yang sering membagi artikel-artikel atau poster-poster bermanfaat di dunia digital cenderung lebih percaya diri di dunia nyata.

7. Jadi Relawan Melalui Social Media

Pernahkah Anda menandatangani petisi online atau membagikan poster-poster terpercaya dari NGO yang mecari dana untuk membantu korban-koran bencana? Kalau anda tidak punya waktu untuk menjadi relawan langsung di lapangan, social media bisa menjadi ruang untuk melanjutkan informasi-informasi kemanusiaan. Jari Anda bisa menjadi relawan bagi institusi atau komunitas Anda.

8. Buka online shop Anda atau Jual Barang yang Tidak Anda Gunakan Lagi.

Pesatnya pengguna social media menjadi pasar yang subur untuk anda yang ingin membuka toko online. Sosial media tidak hanya menjadi pertemuan antar penjual dan pembeli, tapi juga menjadi tempat bertemuanya pembeli dan pembeli, serta penjual dengan penjual. Anda bisa secara langsung di endorse oleh konsumen anda. Sosial media juga bisa menjadi pasar online tempat anda menjual barang-barang layak yang tidak di pakai lagi.

9. Gunakan fitur “Report Spam”

Apabila Anda menemukan akun yang tidak bisa dipercaya atau postingan-postingan yang tidak pantas untuk diperlihatkan oleh pengguna sosmed lainnya. Gunakan fitur “report spam” secara otomatis, maka platform social media yang anda gunakan mengetahui hal tersebut.

10. Jadi Contoh Untuk yang Lain

Semua tips yang disebutkan bisa dimulai tepat saat anda selesai membaca artikel ini. Mulailah dari diri sendiri. (**)

Foto Sungai Dihargai Rp 55 Miliar

07/08/2020 0 Komentar


Fotografi merupakan sebuah kegiatan atau proses menghasilkan suatu gambar atau foto melalui media cahaya dengan alat yang disebut kamera dengan maksud dan tujuan tertentu. Banyak orang berpendapat bahwa fotografi adalah bagian dari seni.

Hal ini karena mengacu pada pengambilan gambar yang dibutuhkan proses seni. Memang tak memakai kanvas, namun seni pada fotografi melukis dengan media cahaya. Layaknya pelukis, seorang fotografer juga membutuhkan kepekaan dalam mengambil sudut yang tepat, agar foto yang dihasilkan memiliki nilai seni yang tinggi.

Terkait nilai seni yang tinggi itu pulalah yang membuat beberapa foto, dihargai gila-gilaan. Seperti foto berjudul Rhein II hasil jepretan fotografer asal Jerman bernama Andreas Gursky. Foto yang berhasil diambil pada tahun 2011 ini dihargai 4,338,500 dollar atau sekitar Rp 55 miliar. Edan! 

Lantas apa yang membuat foto Andreas Gursky seharga milyaran? Alasannya karena menampilkan Sungai Rhein yang berwarna perak yang diapit oleh rumput hijau. Keadaan langitnya sedikit mendung. Sehingga obyek yang simple dan horison yang sempurna.

Foto ini membuat dunia seni sempat heboh, saat foto berjudul Rhein II itu terjual di sebuah rumah lelang dengan harga yang mencengangkan. Karena terjual US$ 4,3 juta atau sekitar Rp 57,3 miliar atau Rp 55 miliar, foto tersebut dinobatkan sebagai foto termahal sepanjang sejarah. 

Foto dalam bingkai kaca raksasa dengan lebar hampir 4 meter itu mungkin terlihat biasa saja. Tapi harganya yang fantastis itu yang membuat orang penasaran untuk mengetahui alasannya. Karya Andreas Gursky ini dipuji kritikus seni. 

Bagi mereka, menandingi kreasi seniman yang juga fotografer Jerman itu adalah sulit.

Seorang kolomnis seni di The Telegraph, Florence Waters mengatakan, bisa butuh waktu yang lama sebelum sebuah foto bisa menandingi karya Andreas Gursky. 

"Foto tersebut adalah gabungan tema dan genre kontemporer dari lanskap Jerman yang terkenal, yang terlihat indah, bersemangat, mengesankan dan sulit dilupakan. Lanskap tersebut romantis dan memperlihatkan hubungan antara manusia dengan alam," tulisnya.

Karya Andreas Gursky lebih dari sekadar kesederhanaan, tapi sebuah demonstrasi keterampilan menyunting foto secara digital. Menurutnya, di akhir tahun 80an, ketika karya Andreas Gursky mendapat perhatian, adalah masa ketika fotografi pertama kalinya masuk galeri seni.

"Karya fotografi masuk ke galeri seni, sejajar dengan lukisan karya para pelukis terkenal. Selain itu foto karya Gursky merupakan pencapaian teknik fotografi yang luar biasa. Yang butuh waktu berbulan-bulan untuk menyiapkannya, dan ketelitian digital dalam mengubahnya," jelasnya.

Faktor lain yang membuat karya ini sangat mahal adalah kelangkaannya.

Kepala Bagian Departemen Seni Pasca-Perang dan Kontemporer di rumah lelang Christie's, Francis Outred mengatakan, dari enam edisi yang ada, tiga berada di museum publik (Moma, Tate, Pinakothek der Moderne, Munich), satu di museum pribadi (Glenstone, Potomac).

"Dan dua sisanya menjadi koleksi pribadi. Dengan kata lain foto tersebut hampir sama langkanya dengan lukisan," katanya.

Sementara itu, kritikus seni Jacob Schiller dalam tulisannya di Wired mengatakan bahwa faktor mahalnya karya Andreas Gursky juga ditentukan oleh tren fotografer untuk menasbihkan diri mereka menjadi seniman agar bisa menghasilkan karya yang bisa dijual dengan harga yang sangat mahal di pasar seni.

Di mata banyak orang, Rhein II mungkin foto biasa saja. Tapi rupanya, dengan berbagai alasan, banyak kritikus seni yang memujinya begitu tinggi. Kata mereka, sulit menandingi kreasi Andreas Gursky ini. Meski penjelasan mereka agak njlimet.

Seorang fotografer berpengalaman, Ken Rockwell mengemukakan, foto ini bernilai karena adalah sebuah seni, bukan sekadar foto. 

"Seniman mungkin memilih untuk berkarya di fotografi, tetapi menjadi seniman adalah yang paling berarti di atas segalanya," tulisnya.

Andreas Gursky menyebut Rhein II adalah karya kebanggaannya. 

"Foto ini berbicara banyak. Bagi saya, ini adalah foto alegoris tentang arti kehidupan," katanya di Guardian.

Andreas Gursky sempat memodifikasi Rhein II secara digital, menghilangkan gambar yang dianggap mengganggu di foto itu seperti bangunan pabrik, pejalan kaki dan pesepeda. Sebelum kemudian dia puas dengan gambar finalnya.

Balai lelang Christie yang berhasil menjualnya seharga USD 4,3 juta pada tahun 2011, menyatakan bahwa Rhein II adalah foto dramatis dan merupakan refleksi eksistensi manusia dan hubungannya dengan alam. Sedangkan siapa pembelinya tak terungkap sampai sekarang. Pastinya dia orang kaya raya.

Andreas Gursky diakui sebagai seniman papan atas. Karya pria asal Jeman ini ditampilkan di museum terkenal seperti Tate Modern di Inggris dan Museum of Modern Art di New York. (**)

**Sumber: tribunstyle.com, dream.co.id dan inet.detik.com 

Hati-Hati, Pornografi Berkedok Fotografi

02/07/2020 0 Komentar


Polisi berhasil membongkar kasus pornografi dan pemerkosaan model perempuan di wilayah Bojonegoro, Jawa Tengah, pada Senin  15 Juni 2020. 

Sebanyak 25 gadis cantik telah menjadi korban oknum fotografer cabul asal Bojonegoro. Dikabarkan ada tiga laporan terhadap ulah cabul pelaku berinisial MH yang dipolisikan. 

MH dilaporkan atas pemerkosaan terhadap model cantik, sebelumnya mereka diminta untuk berfoto dalam keadaan normal hingga akhirnya berpose tanpa busana. Kasus ini diperparah dengan adanya korban yang masih di bawah umur.

Kapolres Bojonegoro, AKBP M Budi Hendrawan menerangkan, kasus ini terungkap pasca polisi mendalami laporan keluarga korban. Berdasarkan keterangan Budi, tersangka melakukan ulah cabulnya setelah membuat aturan kepada korban melalui sebuah perjanjian kontrak.

Dalam perjanjian tersebut, korban akan diberikan denda uang puluhan juta apabila tak mau menuruti perintah dari fotografer.

Melalui modus aturan kerja itulah, korban yang tak bisa menolak akhirnya disetubuhi oleh tersangka.

“Jika tidak mau foto telanjang korban ancaman akan didenda Rp 50 juta, menjadi pacarnya atau harus mau disetubuhi,” kata Kapolres.

Hasil penyelidikan menemukan bahwa sedikitnya, ada 25 model yang telah menjadi korban pelaku. Pelaku telah menjalani aksinya dari 2018 dan berhasil mengelabui korban melalui media sosial.

“Ada tiga model yang disetubuhi pelaku. Dua siswi SMP dan seorang mahasiswi. Sementara total korban mencapai 25 model. Selain tiga yang disetubuhi, mereka menjadi korban foto bugil,” ujar Kapolres.

Seluruh korban terjaring melalui tawaran di medsos, pelaku mengajak para korbannya untuk menjadi foto modelnya. Kemudian, korban dan pelaku bertemu, MH mengikat ‘modelnya’ dengan sebuah perjanjian tertulis.

Kasus persetubuhan tersebut dilakukan saat sesi pemotretan bersama korban model berusia 15 tahun di salah satu kamar hotel di Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro pada 6 Mei 2020.

Dalam sesi pemotretan tersebut, tersangka meminta kepada korban dengan sesi foto normal menggunakan baju biasa, foto seksi hingga foto telanjang.

Atas perbuatannya tersebut, pelaku dijerat Undang Undang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal hukuman 15 tahun kurungan. Kemudian, Pasal 9 Jo Pasal 35 UU RI nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, yang berbunyi setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi diancam dengan hukuman satu tahun sampai 12 tahun penjara.

MH yang telah mencabuli sebanyak 25 model bugil. Belakangan diketahui ternyata MH tak pernah menafkahi lahir batin istrinya. Kini warga Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro ini diperiksa kejiwaannya dan ditetapkan menjadi tersangka. (**)

**Sumber: Pornografi Berkedok Pemotretan Terbongkar! Fotografer Setubuhi 2 Cewek SMP dan 1 Mahasiswi https://www.patrolipost.com/39271/pornografi-berkedok-pemotretan-terbongkar-fotografer-setubuhi-2-cewek-smp-dan-1-mahasiswi/


Berhenti Gunakan Kata 'Hunting' Foto?

24/06/2020 0 Komentar

 



Memang selama ini kata 'Hunting Foto' menjadi hal umum di kalangan fotografer dan komunitas fotografi untuk menyebut aktivitas memotretnya.

Karena itu, tak ada salahnya jika saya ikut mambagikan paparan ini di sini. Silahkan disimak.

Belakangan ini salah seorang kawan saya, sebut saja namanya Fuko, sedang gandrung dengan pemotretan virtual (virtual photo session). Penjarakan fisik yang kian menjemukannya di tengah masa pagebluk Covid-19 ini nyatanya tidak menghalangi dirinya untuk tetap memotret, sesuai dengan hobi dan passionnya.

"Kamu harus nyobain juga, orang-orang sekarang lagi rame hunting foto virtual kayak begini, bro," ujarnya kepada saya.

Sebenarnya, saya sedang tidak punya masalah apapun (sementara ini) dengan foto virtual yang kebetulan lagi tren ini. Akan tetapi, yang hendak saya permasalahkan adalah bagaimana kawan saya tersebut masih menyebut aktivitas berfotografinya dengan istilah ‘hunting’ foto.

Barangkali, sebutan ini sudah begitu akrab diterima sebagai sesuatu yang lazim dan memang sudah begitu adanya. Mulai dari para pehobi foto hingga fotografer profesional itu sendiri menggunakan kata hunting untuk mewakilkan kegiatan memotret mereka di keseharian. “Lalu di mana letak masalahnya? Iri bilang aja, bos?”

Ya, saya ada masalah dengan istilah hunting ini. Dan saya tak tahan untuk mengatakan istilah ini sebagai sesuatu yang pada dasarnya memang bermasalah. Namun, sebelum beranjak lebih jauh, pertama-tama saya ingin menyinggung dengan apa itu hunting.

Secara literal, definisi hunting itu sendiri adalah aktivitas berburu atau perburuan. Berburu adalah praktik mencari sesuatu (yang biasanya hewan dan dianggap liar) sebagai obyek buruan. Praktik berburu sampai sekarang masih eksis dilakukan beberapa kalangan masyarakat tradisional sebagai bentuk tradisi (misal buru babi di Sumatra).

Selain diperuntukkan untuk keperluan tradisi dan adat, berburu juga lekat dengan kegiatan rekreasional (leisure). Lebih jauh, baik ritual maupun rekreasional kegiatan perburuan kerap diasosiasikan dengan penundukkan, di mana sarat akan simbol maskulinitas (kegagahan, prestise, status).

Konsekuensi dari pendefinisian seperti ini membuat aktivitas memotret menjadi tidak jauh berbeda laiknya dengan ajang perburuan, yang dalam hal ini foto sebagai hasil buruannya. Orientasi sang fotografer ketika membidik subyek/obyek di hadapannya seperti melihat hewan buruan semata.

Kamera bak menjadi alat atau senjata bagi fotografer untuk menaklukan sang subyek/obyek yang diburu. Dan fotografer itu sendiri ibarat menjadi sang pemburu yang berhasrat untuk menaklukkan obyek buruannya.

Pada gilirannya, pemosisian subyek/obyek foto sebagai obyek buruan semata merupakan representasi simbol dari hubungan superioritas dan politik kuasa antara pemotret dengan yang dipotretnya. Tanpa disadari praktik semacam ini turut memproduksi hubungan superioritas yang dimiliki oleh sang fotografer yang kemudian merampas begitu saja citra dari yang dipotret (yang tidak disadari juga sering diposisikan sebagai obyek mati).

Hal ini tidak jauh beda dengan apa yang disebut Edward Said sebagai superioritas posisional (Said, 2003) di mana yang dipotret menjadi obyek inferior yang dapat diperlakukan semena-mena oleh sang pemotret.

Saya sebetulnya sampai sekarang bertanya-tanya, sejak kapan istilah hunting ini mulai digunakan di Indonesia? Beberapa fotografer bercerita bahwa mereka pertama kali mengenal istilah hunting foto dari Fotografer.net sebagai istilah umum yang merujuk pada kegiatan memotret (biasanya dilakukan secara kolektif), dari memotret model, lanskap, arsitektur hingga fotografi makro memotret flora dan fauna di sekitar kita.

Lalu, bagaimana bisa kata ini tetap eksis dan dipakai untuk memadankan aktivitas memotret foto? Menariknya, sampai hari ini penggunaan istilah hunting foto sepertinya masih lekat dengan komunitas atau penggiat fotografi khususnya (dan mungkin hanya?) di konteks Indonesia. Di luar Indonesia, istilah hunting foto atau “photo hunting” cukup jarang digunakan untuk menjelaskan praktik memotret secara umum, kecuali merujuk pada fotografi satwa liar.





Terlepas dari hal itu, yang jelas istilah bermasalah ini telah diterima sebagai kelaziman di masyarakat. Kendati terlihat sepele, sebagaimana menurut Michel Foucault (1980), teks atau wacana (discourses) memainkan peranan penting dalam memproduksi sebuah pengetahuan.

Teks atau wacana memiliki sifat mendefinisikan, memproduksi kenyataan (rezim kebenaran) yang kemudian menormalisasi individu-individu di dalam masyarakat (Foucault, 1980). Normalisasi beroperasi melalui institusi kemasyarakatan, di mana dalam konteks ini istilah hunting terus menerus diproduksi dan direproduksi melalui relasi triad antara komunitas, korporasi dan media.

Lokus utama beroperasinya istilah ini bisa dikatakan ada di komunitas-komunitas fotografi. Lihat saja bagaimana komunitas-komunitas fotografi melanggengkan istilah hunting dengan menjadikannya tajuk utama di program atau kegiatan mereka. Misalkan saja ‘hunting model’ dan ‘hunting pasar’.

Menurut Radityo Widiatmojo (2016), dalam studinya mengenai praktik hunting model di komunitas fotografi Indonesia, sebetulnya menjadi ajang pelanggengan dan penormalan dari kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini berupa objektivikasi tubuh yang dilakukan fotografer yang mayoritas laki-laki terhadap sang model yang umumnya adalah perempuan.

Sementara itu, hunting pasar pun tidak kalah bermasalahnya bagi saya. Sekelompok orang datang ke suatu tempat secara kerumunan, menarget ‘buruannya’ melalui jendela bidik kamera, dan kemudian ‘menembak’ obyek fotonya, adalah ciri-ciri yang menandai bagaimana praktik hunting ini umumnya terjadi. Persoalan ‘tabrak lari’ sehingga kerap hadir dalam dunia fotografi: datang membidik, memotret obyek, menghilang setelah mendapatkan foto yang diinginkan.







Peran korporasi tidak bisa dilepaskan ketika membicarakan bagaimana istilah hunting dinormalisasi secara praktiknya. Korporasi, seperti brand-brand kamera, seringkali mengadakan acara hunting foto bagi para pehobi maupun fotografer profesional demi kepentingan bisnis.

Tidak jarang pula mensponsori komunitas-komunitas fotografi untuk mengadakan acara hunting mereka sendiri. Semua dilakukan atas motif memperluas cakupan wilayah bisnis dari korporasi bersangkutan (business as usual). Yang terakhir adalah media, baik itu media daring maupun media massa, menjadi corong yang mewartakan kegiatan-kegiatan dari komunitas dan korporasi untuk menjangkau publik secara luas.

Di samping itu, media juga berperan dalam memproduksi wacana mulai dari memberi info seputar tempat hunting hingga tips and trick hunting foto. Tidak percaya? Coba ketik hunting foto di mesin pencarian, dan lihat bagaimana algoritma menunjukkan hasilnya kepada anda.

Dengan begitu, baik komunitas, korporasi dan media berhubungan secara berkesinambungan dalam menormalisasi istilah hunting di dalam masyarakat. Maka dari itu kita perlu untuk mengganti kata hunting sebagai upaya dekonstruksi makna dan praktik kefotografian kita yang ikut-ikutan bermasalah karenanya, dimulai dari komunitas-komunitas fotografi yang ada.

Kita tentunya bisa mulai menggantinya dengan istilah lain, misal dengan penggunaan kata ‘Sodrek’ yang telah dipopulerkan oleh komunitas Walkingalam sebagai istilah alternatif untuk menjelaskan metode memotret di jalanan, atau model lokakarya yang memadukan literasi visual, riset, praktik memotret dan penyuntingan, salah satunya seperti Kelana, sebagai program alternatif yang masih melibatkan kegiatan memotret secara kolektif di jalanan.

Sebab, untuk apa kita memadankan aktivitas memotret dengan istilah perburuan yang sarat akan penaklukan dan kekerasan simbolik jika fotografi bisa digunakan sebagai jembatan bagi sang fotografer untuk mendekatkan diri, memahami dan berempati dengan subyek yang dipotretnya.

Berupaya menempatkan subyek sebagai agency yang memiliki suara dan dapat menyuarakan diri mereka sendiri, bukan sebagai obyek buruan semata.

Sekali lagi saya tekankan: Ya, saya punya masalah dengan kata ini, dan sudah semestinya kita pun mempermasalahkannya. Itulah kenapa kita harus berhenti menggunakan kata hunting foto mulai dari sekarang.

***

Referensi:
- Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977 (edited by Colin Gordon). New York: Pantheon Books
- Said, E. W. (2003). Orientalism: Western Conceptions of the Orient. London: Penguin Books
- Widiatmojo, R. (2016). Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Dalam Fotografi Portrait di Group Facebook: Studi pada Komunitas Fotografi Indonesia. Jurnal Komunikasi Indonesia, Vol 5 (2): pp 112-123

*Sumber:
- Kenapa Kita Harus Berhenti Menggunakan Kata ‘Hunting’ Foto?
https://www.arkademy.id/kenapa-kita-harus-berhenti-menggunakan-kata-hunting-foto/

**Penulis:
Galang Anugrah saat ini sedang menempuh studi di jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia. Merupakan salah satu alumni workshop RANA tahun 2018 di Malang. Tulisan ini adalah opini pribadi penulis.

 
IHSYAH blogwork adalah versi baru dari blog IHS center | lihat juga BLOGSPOTISME