Anggaru, Sejatinya Bukan untuk Acara Pernikahan

26/09/2025

​Pada banyak acara adat di Sulawesi Selatan, khususnya Bugis-Makassar, kita sering menyaksikan sebuah atraksi heroik. Atraksi yang disebut Anggaru ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara pernikahan, sebuah tontonan yang menampilkan keberanian para lelaki di hadapan mempelai dan tamu. 

Namun, di balik kemegahan dan popularitasnya, Anggaru sejatinya menyimpan sebuah cerita yang jauh lebih dalam dan maknawi dari sekadar pertunjukan di acara perkawinan.

​Anggaru berasal dari kata “garu” yang berarti “mengakui” atau “bersumpah.” Secara harfiah, Anggaru adalah sebuah ikrar, janji, dan sumpah setia. Anggaru bukan sekadar gerak tubuh, melainkan ritual sakral yang melambangkan ikrar kesetiaan seorang prajurit terhadap Raja atau pemimpinnya.

​Dalam tradisi masa lampau, Anggaru dilakukan oleh para Pammantangang Lompoa, yaitu pengawal kerajaan yang bertugas menjaga keselamatan Raja. Mereka akan mengacungkan Badik sebagai simbol kesiapsiagaan dan keberanian, sembari melantunkan janji yang berisi kesediaan untuk berkorban jiwa raga demi kedaulatan kerajaan.

​Anggaru mengandung nilai-nilai kepahlawanan, kesatriaan, dan pengabdian. Gerakannya yang tegas dan penuh semangat bukanlah untuk unjuk kebolehan, melainkan refleksi dari sikap dalam menjaga kehormatan dan kedaulatan.

​Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran makna dan fungsi dari Anggaru. Atraksi ini mulai diadopsi dalam berbagai acara sosial, termasuk perkawinan. Penggunaannya dalam upacara pernikahan dimulai dari sebuah adaptasi yang dimaksudkan untuk menyambut kedatangan mempelai pria di rumah mempelai wanita, sebagai simbol penghormatan tertinggi. 

Seolah-olah mempelai pria dianggap sebagai "raja" yang harus dijaga dan dihormati.

Anggaru juga kadangkala dilakukan saat malam mapacci, yang dilakukan pada malam sebelum akad nikah. Prosesi ini bertujuan untuk menyucikan dan membersihkan calon mempelai, baik secara fisik maupun batin, dari segala dosa dan keburukan di masa lalu, agar memulai kehidupan pernikahan dalam keadaan yang suci. 

Nama Mappacci berasal dari kata "pacci" yang berarti daun pacar atau inai, yang memiliki makna penyucian diri. Calon mempelai diyakini dapat melepaskan masa lajang dengan hati yang bersih, sehingga diharapkan pernikahannya langgeng dan tidak terpisahkan.

Para tetua adat atau kerabat yang dituakan akan menaburkan pacci ke tangan calon mempelai. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia, dan diharapkan kebahagiaan mereka menular kepada pasangan yang akan menikah.

Perlengkapan yang digunakan dalam upacara mappacci memiliki makna simbolis yang melambangkan harapan-harapan baik bagi kehidupan rumah tangga kedua mempelai. 

Seperti bantal, sebagai alas kepala calon mempelai, bantal melambangkan harkat, martabat, dan kehormatan. Ini adalah pengingat bagi mempelai untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga.

Sarung sutera (tujuh helai) yang disusun sebanyak tujuh helai di atas bantal melambangkan harga diri, ketekunan, dan sifat istikamah. Angka tujuh juga dikaitkan dengan makna melakukan pekerjaan yang benar, bermanfaat, dan berguna.

Daun pisang yang melambangkan kehidupan yang terus berkesinambungan dan harapan agar mendapatkan keturunan yang baik. Daun nangka (sembilan helai) yang melambangkan cita-cita luhur yang tinggi, semangat hidup, dan kebajikan.

Beras atau jagung yang dimekarkan: Melambangkan harapan agar rezeki kedua mempelai akan terus berkembang dan mandiri dalam mengarungi rumah tangga.

Juga lilin lebah (tebani): Melambangkan cahaya penerang yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan kedua mempelai, serta harapan agar mereka menjadi suri tauladan bagi sekitarnya.

Selanjutnya ada kelapa dan gula merah: Melambangkan harapan agar kehidupan pernikahan senantiasa manis dan harmonis.

Serta yang utama daun pacci, daun pacar yang ditumbuk halus melambangkan cinta yang tidak akan pudar dan kerukunan bagi kedua mempelai. 

Prosesi mappacci melibatkan keluarga, kerabat, dan tokoh masyarakat yang dituakan. Setelah calon mempelai duduk bersimpuh, orang-orang yang ditunjuk akan secara bergiliran meletakkan tumbukan daun pacci ke telapak tangan mempelai. 

Acara ini sering diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an atau pengajian. Setelah semua tamu selesai, calon mempelai akan meninggalkan sedikit sisa pacci di tangannya hingga akad nikah keesokan harinya sebagai simbol bahwa ia telah disucikan.

Kembali pada atraksi Anggaru dalam acara pernikahan, menurut Dr. M. Syaiful, seorang budayawan dan pakar sejarah Makassar, pergeseran ini melunturkan makna asli dari Anggaru. 

"Anggaru itu sesungguhnya adalah ikrar untuk mempertahankan kedaulatan, untuk berperang melawan musuh. Maknanya sangat maskulin dan penuh dengan semangat keprajuritan. Ketika Anggaru digunakan dalam pernikahan, itu seperti melepaskan ruh aslinya. Sumpah yang seharusnya ditujukan kepada pemimpin tertinggi, kini direduksi menjadi sekadar hiburan atau simbol penyambutan," ujarnya, mengutip media.

​Penggunaan Anggaru di acara pernikahan memang mengundang pro dan kontra. Sebagian berpendapat bahwa ini adalah bentuk pelestarian budaya agar tetap dikenal oleh generasi muda. Namun, banyak juga yang khawatir bahwa jika tidak dikembalikan pada konteks aslinya, maka Anggaru hanya akan menjadi seni pertunjukan tanpa makna yang mendalam.

​Anggaru bukanlah sebuah atraksi selamat datang biasa. Ini adalah sebuah ritual yang sakral, sebuah janji yang dibuat dengan darah dan kehormatan. Parang yang diacungkan bukanlah sekadar properti, melainkan simbol kesiapan untuk bertarung. Sumpah yang dilantunkan bukanlah sekadar lirik, melainkan ikrar yang mengikat jiwa.

​Memahami hal ini penting agar kita tidak hanya melestarikan wujudnya, tetapi juga ruhnya. Mengembalikan Anggaru ke konteks aslinya tidak berarti mengharamkan penggunaannya di luar upacara kerajaan, melainkan lebih pada kesadaran bahwa ia adalah sebuah tarian istimewa yang mengandung nilai-nilai luhur dan harus dipertunjukkan dengan penuh penghormatan terhadap sejarah dan makna yang terkandung di dalamnya.

​Anggaru adalah janji. Janji setia seorang prajurit. Janji untuk menjaga kehormatan. Dan janji seperti itu, sejatinya, terlalu sakral untuk sekadar menjadi pengiring di acara perkawinan. Anggaru adalah cerminan jati diri seorang kesatria. 

Menurut Dr. Nurhayati M.S., seorang pakar sejarah dan antropologi budaya Bugis-Makassar, Anggaru pada dasarnya adalah manifestasi dari sumpah setia. 

"Dalam tradisi Bugis, Anggaru dikenal sebagai 'Sumangeq'-na To-Labbiriq' atau 'Sumpah Kehormatan Para Bangsawan'. Sumpah ini diucapkan oleh seorang Ksatria atau Panglima Perang kepada Raja atau pemimpin mereka," jelasnya.

​Fungsi utamanya adalah untuk menyatakan kesetiaan, keberanian, dan kesiapan untuk berkorban demi melindungi kehormatan dan kedaulatan kerajaan. 

Isi dari Anggaru biasanya mencakup tiga poin utama: ​Kesetiaan Tak Bertepi: Kesiapan untuk mati demi mempertahankan kehormatan pemimpin dan kerajaan. Keberanian dalam Perang: Janji untuk tidak mundur dari medan pertempuran. Serta ​Pengorbanan Diri: Kesediaan untuk mengorbankan nyawa, harta, dan keluarga demi kepentingan yang lebih besar.

​Dalam konteks sejarah, Anggaru diucapkan di hadapan para pembesar kerajaan, disaksikan oleh rakyat, sebagai sebuah ritual sakral yang mengikat jiwa raga seorang ksatria. Ini bukan hanya sebuah kata-kata, melainkan sebuah kontrak moral yang tak terpecahkan.

​"Penting bagi kita untuk mengembalikan Anggaru ke posisinya yang benar. Anggaru adalah representasi dari karakter 'To-Makassar-To-Bugis', yaitu pribadi yang menjunjung tinggi kehormatan, berani, dan setia pada janji," katanya. 

Ia menambahkan bahwa Anggaru seharusnya dikaji, diajarkan, dan dipentaskan dalam konteks yang sesuai, seperti dalam upacara pelantikan raja atau pimpinan adat, atau dalam pertunjukan seni yang berorientasi edukasi.

Memang, pada akhirnya tradisi akan terus berevolusi. Namun, sebagai pewaris, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa evolusi itu tidak sampai menghilangkan esensi dari warisan budaya. Anggaru bukan sekadar seni pertunjukan untuk acara pernikahan; ia adalah warisan sejarah, cerminan dari jiwa ksatria, dan pengingat akan pentingnya kesetiaan dan pengorbanan demi kepentingan yang lebih besar. 

Dengan memahami dan menghargai maknanya yang sejati, kita tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga merawat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Lantas, bagaimana Anggaru bisa bergeser maknanya hingga masuk ke dalam acara pernikahan? 

Menurut Budayawan Bugis-Makassar, Arfan, pergeseran ini terjadi secara bertahap seiring berjalannya waktu.

"Mungkin karena bentuknya yang heroik dan teatrikal, Anggaru dianggap cocok untuk menambah kemeriahan acara perkawinan," ujarnya.

​Ada beberapa asumsi yang menyebabkan pergeseran ini, di antaranya Dramatisasi dan Estetika: Anggaru dinilai mampu memberikan sentuhan dramatis dan menambah "aura" sakral pada prosesi pernikahan, seolah-olah pengantin pria bersumpah setia di hadapan keluarga mempelai wanita.

​Kurangnya Pemahaman Sejarah: Banyak masyarakat modern, terutama generasi muda, tidak lagi memahami konteks historis dan filosofis Anggaru. Mereka hanya melihatnya sebagai bagian dari "pertunjukan" budaya yang menarik.

​Anggaru sebagai Simbol Pengakuan: Anggaru juga sering digunakan sebagai simbol pengakuan atas penerimaan menantu oleh keluarga mempelai wanita. Anggaru diucapkan oleh keluarga mempelai wanita, seolah-olah sang menantu kini menjadi "bagian" dari keluarga yang harus dilindungi kehormatannya. Namun, ini adalah interpretasi yang jauh dari makna aslinya.

​​Meskipun niat di balik penggunaannya dalam pernikahan mungkin baik—yaitu untuk menumbuhkan rasa kesetiaan—pemanfaatan Anggaru dalam konteks ini telah mengikis makna aslinya yang luhur. Anggaru sejatinya bukan tentang sumpah seorang suami kepada istrinya, melainkan sumpah seorang abdi kepada rajanya, seorang ksatria kepada negerinya.

Menurut Dr. Hamka Hafid, seorang filolog dan budayawan dari Universitas Hasanuddin, fenomena Anggaru bergeser dari konteks militer ke konteks perkawinan mulai terlihat sekitar abad ke-20. 

"Seiring pudarnya tradisi kerajaan dan perang, Anggaru kemudian diadopsi ke dalam ranah sipil, termasuk perkawinan," ungkapnya. 

Ikrar ini dianggap sebagai simbol kesiapan seorang mempelai pria untuk menjaga dan melindungi istrinya, serta keluarganya kelak. Gerakan-gerakan yang dulu menggambarkan persiapan perang kini diinterpretasikan sebagai kesiapsiagaan menghadapi tantangan hidup.

​Namun, tidak semua setuju dengan pergeseran ini. Sebagian budayawan dan pemerhati adat menilai bahwa mengadopsi Anggaru dalam acara perkawinan dapat mengikis makna aslinya. 

Pergeseran konteks ini membuat ​​Anggaru hari ini lebih sering dikenal sebagai sebuah seni pertunjukan. Gerakan-gerakannya diperhalus, musiknya disesuaikan, dan narasi yang dibacakan sering kali berisi pesan-pesan yang lebih romantis dan bersifat personal. Namun, agar tidak kehilangan ruh aslinya, penting bagi para pelaku seni dan masyarakat untuk memahami sejarah dan makna di balik setiap gerakan dan kata yang diucapkan.

​Anggaru sejatinya adalah sebuah ikrar, sumpah, dan komitmen seorang ksatria. Membawa Anggaru ke dalam sebuah pernikahan adalah pengakuan bahwa membangun rumah tangga adalah sebuah medan juang yang butuh komitmen dan keberanian sekuat ikrar seorang prajurit. Walaupun konteksnya telah bergeser, esensi nilai-nilai luhur di dalamnya tetap relevan dan penting untuk terus dijaga. 

Jadi, mari kita pahami dan hargai makna sesungguhnya, agar kekayaan budaya kita tidak hanya hidup, tetapi juga tetap bermakna. (**)

**M. Ilham Halim Syah

Artikel ini sebagian dihasilkan oleh AI

0 Komentar:

 
IHSYAH blogwork | lihat juga BLOGSPOTISME