Berikut Alasan Ilmiah Orang Sampai Baper Saat Di-Unfollow Kawan Dunia Maya
Padahal yang unfollow sosok tak kita kenal di dunia nyata. Tapi kenapa
orang-orang sampai sakit hati dan kecewa ya? Kajian psikologi menemukan
jawabannya.
Oleh Mark Hay
21 Juli 2019, 8:00pmShareTweetSnap
ILUSTRASI OLEH MARIJA KOVAC/STOCKSY
Sebagian besar pertemanan lewat media sosial itu hanya omong kosong.
Kita memang memanfaatkan medsos buat mempertahankan hubungan dengan
orang yang kita sayangi. Sebab kalau tidak, mereka sulit dihubungi. Tapi
itu yang lebih sering terjadi kita cuma nambah-nambah kontak yang
jarang banget kita hubungi, bahkan sebenarnya tidak kita kenal.
Satu penelitian menunjukkan bila responden mahasiwa yang mereka teliti
hanya mengenal 72 persen teman-teman Facebook-nya. Intinya, kita
seharusnya tidak peduli sama teman dunia maya. Toh kita tak benar-benar
mengenal mereka.
Faktanya, bagi sejumlah orang kehilangan satu kontak, bahkan yang tidak
dikenal sekalipun, dapat bikin emosi terpantik. Mungkin kesannya orang
kayak gitu terlalu sensitif atau baperan. Tetapi ada alasan wajar kenapa
kehilangan satu follower saja di medsos bisa menyakiti perasaan
seseorang.
Teman-teman dan pengikut medsos bukannya tak berguna. Menurut pakar
psikologi sosial dari Wesleyan University, Kip Williams, follower
membantu kita membangun rasa diterima oleh masyarakat dan menaikkan
harga diri dalam sistem pergaulan. Kehilangan follower atau teman
online, kata Kip, "mempengaruhi orang dengan cara yang sama seperti
seperti penolakan, pengecualian, dan pengasingan."
Artinya, tindakan memilih unfollow dapat menyakiti dan merendahkan harga
diri seseorang. Semua pengguna medsos, imbuh Kip, kemungkinan akan
merasakan efek negatif ketika sadar telah kehilangan hubungan media
sosial dengan sosok tertentu—termasuk yang tidak kenal baik di dunia
nyata. Intensitas reaksi tersebut bergantung pada konteks pribadi dan
sosial pengguna.
Tak heran, berbagai penelitian seputar psikologi media sosial mengungkap
kesimpulan mirip-mirip: sebagian besar pengguna medsos cenderung merasa
kecewa ketika di-unfollow seseorang, terutama jika orang yang memutus
pertamanan ogah memberitahu alasannya atau setidaknya berusaha mengatasi
permasalahan antara keduanya terlebih dahulu sebelum unfollow.
Memutus hubungan digital cenderung juga dipandang manusia di berbagai
negara sebagai tindakan pasif agresif atau aksi penghindaran konflik.
Namun, bahkan jika seseorang memberitahu orang yang di-unfollow terlebih
dahulu, tindakan tersebut tetap menjadi peringatan bahwa hubungan
terputus.
Dinamika unfriending juga menarik untuk dikaji. Christopher Sibona, guru
besar psikologi di University of North Carolina at Wilmington,
mempelajari jaringan sosial dan dinamika unfriending di Facebook. Ia
menerbitkan sebuah studi yang didasarkan survei melibatkan 1.077
pengguna Facebook. Berdasarkan survei tersebut, pengguna medsos
cenderung menghapus teman-teman SMA, kenalan, temannya teman, atau teman
sekantor—mereka semua orang yang jarang dihubungi di dunia nyata.
Kajian ini juga mendapati temuan menarik lainnya. Saat seorang teman
yang tak akrab-akrab banget dihapus dari jaringan Facebook, reaksi
paling lumrah adalah heran; reaksi ketiga paling lumrah adalah gembira.
Berdasarkan penemuan ini dan penelitian sejenis, Christopher
menyimpulkan bahwa sebagian besar pengguna medsos punya mentalitas macam
ini: "kalau mereka di-unfollow seseorang yang tidak dikenal, dampaknya
tidak terlalu negatif."
Menurut Larry Rosen, ahli psikologi dunia digital di California State
University, sebagian orang sangat mengandalkan jaringan medsos untuk
mengukur nilai sosial mereka, tetapi yang lainnya tidak. Orang yang
menghargai kehadiran digitalnya secara berlebihan cenderung
hipersensitif terhadap fluktuasi jumlah followernya.
Penemuan tersebut sesuai dengan penelitian Jennifer Bevan, ahli media
sosial di Chapman University. Ia menyurvei 547 pengguna Facebook pada
2011 dan mendapati bila pengguna aktif Facebook lebih tersakiti atas
tindakan unfollowing daripada pengguna nonaktif. Ia juga menyimpulkan
saat pengguna medsos mengenal orang yang meng-unfollow, maka mereka
cenderung bereaksi secara negatif. Menurut penelitian Christopher, orang
yang mengamati jumlah teman mereka (menggunakan aplikasi medsos
tertentu) biasanya juga terbiasa mengidentifikasi setiap orang yang
meng-unfollow mereka.
Bagi orang macam ini, hilangnya seorang follower atau bahkan seorang
kenalan sama dengan kehilangan status sosial terukur yang digunakannya
buat memvalidasi diri. Orang macam ini saat membagi aspek dari kehidupan
mereka di internet senantiasa berupaya menciptakan versi ideal diri
mereka. Tindakan unfriending dianggap seperti kritik terhadap identitas
mereka.
Sebenarnya lasan orang yang peduli jumlah teman dunia maya merasa sedih
ketika di-unfollow masih wajar. Di kehidupan nyata, kalau kita tidak mau
berurusan dengan seseorang, kita bisa menghindarinya dengan mudah.
Memutuskan hubungan di medsos merupakan tindakan penolakan yang
transparan dan tidak bisa disembunyikan. Penolakan tersebut lebih nyata
terasa di platform medsos yang menyediakan fitur mute. Ketika seseorang
lebih memilih meng-unfollow seseorang alih-alih menggunakan fitur mute,
kesannya seperti sedang melakukan penolakan tanpa basa-basi.
Menurut jumlah kecil studi yang tersedia seputar isu ini, pengguna
medsos cenderung meng-unfollow pihak yang menginisiasikan hubungan
digital antara keduanya serta orang-orang yang postingannya terlalu
membosankan atau menghina. Saking seringnya orang di-unfollow karena
postingannya kontroversial, sehingga sebagian antusias medsos menganggap
tindakan unfollow sebagai semacam kritik orang lain terhadap identitas
digital yang telah mereka ciptakan.
Mungkin itu dapat menjelaskan kenapa fitur mute di medsos lebih populer
ketimbang unfriending atau unfollowing. Tujuannya sama: menyingkirkan
seseorang dari kehidupan digitalmu tanpa melakukan apapun yang
berpotensi dianggap menghina seseorang.
Tetap saja, masih ada banyak alasan lain buat meng-unfollow seseorang.
Menurut Christopher, beberapa tempat kerja menerapkan kebijakan yang
mengharuskan pekerjanya meng-unfollow orang-orang tertentu. Kalau
begitu, para ahli menyarankan kalian menghubungi orang yang akan kamu
unfollow dan menjelaskan alasannya agar dia tidak bereaksi secara
berlebihan.
Jumlah orang sensitif yang merasa disakiti ketika di unfollow masih
belum bisa dipetakan ilmuwan. Menurut Jennifer, penelitian di bidang ini
masih sangat terbatas; dat penelitian terbaru masih bergantung pada
data dari lima tahun terakhir atau lebih, sebelum tersedia opsi mute di
medsos. Karena itu, kita tidak tahu apakah ada unsur fitur tertentu di
setiap medsos yang bisa memperparah sensitivitas orang terhadap tindakan
unfollow atau tidak.
Tapi kita harus mengakui ada beberapa alasan sah kenapa orang bisa
merasa disakiti ketika di- unfollow. Buat kalian yang ingin membersihkan
daftar teman-teman atau follower tanpa menghina siapapun, risiko baper
ini pasti menyebalkan. Jadi, idealnya pengguna medsos harus memperkuat
diri melawan sensitivitas emosional melihat orang lain meng-unfollow
akun kita demi medsos yang lebih sehat; Kip menyarankan kaum pemantau
jumlah follower agar belajar lebih fokus pada upaya membangun hubungan
akrab di dunia maya, bukan perkembangan angkanya.
Masalahnya, selama manusia masih mendambakan pengakuan terkait hubungan
sosial dan harga diri, keinginan baper melihat seseorang unfollow akan
terus disalurkan. Daripada stres dan marah-marah, lebih baik kita
menerima kenyataan pahit itu. Medsos punya fungsi unfollow, suka tidak
suka. Makanya, kalau memang tidak mau sakit hati, sebaiknya kita
memperlakukan follower sama seperti kita memperlakukan teman-teman kita
di kehidupan nyata. Kalau memang kalian tidak saling kenal, ngapain juga
marah ketika di-unfollow toh?
Artikel ini pertama kali tayang di Tonic
https://www.vice.com/id_id/article/d3e8xy/berikut-alasan-ilmiah-orang-sampai-baper-saat-di-unfollow-kawan-dunia-maya
0 Komentar:
Posting Komentar